jerukan

dedikasi terhadap dusun tempat daku dilahirkan

Wednesday, February 02, 2005

Langgar dan kehidupan santri warga dusun Jerukan.

Jerukan adalah dusun santri, karena sentra aktivitas warga adalah langgar (musholla), sebab keluarga inti dusun ini adalah keluarga santri. Di ujung dusun ini Kyai Dulmaseh telah mendirikan sebuah langgar (musholla) yang masih tegak berdiri hingga kini. Langgar itu cukup besar karena mampu menampung seratusan jemaah. Kira-kira telah seabad langgar itu berdiri dan beberapa kali diperbaiki tetapi bentuk aslinya belum banyak berubah. Perubahan hanya pada pernik-pernik termasuk lantai yang semula plester kini telah diganti dengan keramik. Arsitektur langgar tergolong sederhana yakni berupa bangunan cungkup beratap genting, tanpa kubah atau “mustaka”, dengan usuk dari bambu tanpa plafond dengan pengimaman di sisi barat yang beratapkan beton cor berbentuk kubah lengkung. Di sebelah kanan dan kiri terdapat gandok, gandok sebelah kanan digunakan sebagai “palastren” atau tempat santri putri. Di belakang masjid terdapat pemakaman khusus keluarga cikal bakal langgar. Melengkapi langgar adalah sarana padasan (tempat untuk membersihkan hadas) berupa sumur dan blandong (pancuran) untuk berwudhu serta sebuah blumbang (kolam) yang bisa digunakan baik untuk berwudhu, mandi junub atau keperluan lain seperti mencuci pakaian. Jarak blumbang dengan langgar cukup jauh, sekitar 25 meter, sebagai sarana penghubung adalah titian dari deretan batu besar yang disebut “bancik”. Alat pemanggil jamaah berupa kentongan kayu jati dengan diameter 25 cm yang berdekatan dengan sebuah bedug berdiameter satu meter yang ditutup kulit lembu. Saat ini, melengkapi kentongan dan bedug itu juga terpasang piranti modern seperti horn “Toa” yang rajin mengumandangkan adzan lima kali sehari semalam. Alat modern lainnya yang ada di langgar adalah beberapa kipas angin yang memperlancar sirkulasi udara dalam langgar yang bermanfaat ketika ketika jamaah memenuhi ruangan masjid..
Semula langgar itu adalah untuk keluarga besar, tetapi dengan berubahnya waktu, statusnya bergeser menjadi musholla warga dusun secara umum. Namun hingga saat ini takmir maupun pengelola langgar masih didominasi keluarga besar Kyai cikal bakal.
Langgar selain dipergunakan sebagai tempat untuk melaksanakan sholat lima waktu juga untuk menunaikan sholat tarawih di bulan Ramadhan maupun sholat dua hari raya (iedul adha dan iedul fitri). Namun sampai saat ini belum pernah dipergunakan sebagai tempat untuk menjalankan sholat Jumat. Untuk keperluan Jumatan warga dusun pergi ke masjid desa Doho yang berjarak beberapa ratus meter dari langgar. Kata para ulama, langgar tidak memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai tempat menjalankan sholat Jumat, karena terlalu dekat dengan masjid desa karena azan dari masjid tersebut masih terdengar jelas di lingkungan langgar.
Di bagian lain dari dusun Jerukan juga terdapat sebuah langgar yang sedikit lebih besar. Langgar kedua ini didirikan oleh Kyai Abdul Jabar (Duljabar). Bentuk langgar Duljabar hampir sama dengan langgar kyai Dulmaseh, yakni sama-sama memiliki blumbang, namun langgar Duljabar dilengkapi dengan pondok yang menunjukkan bahwa tempat itu dulunya adalah sebuah pesantren dengan santri yang menginap. Pewaris Duljabar yang mengelola langgar ini juga pernah mencoba untuk meningkatkan status langgar menjadi sebuah masjid yakni tempat sholat umum termasuk sholat Jumat.
Kedua langgar tersebut tidak berbeda aliran, sama-sama ahlu sunnah waljamaah, yakni sama-sama tarwih 20 rakaat, sama-sama sholat subuh dengan doa qunut, hanya saja langgar Kyai Abdul Jabar (meskipun ada kentongan) tidak memiliki bedug.
Langgar Dulmaseh dan Duljabar biasa berbagi jemaah, namun tidak ada batas yang jelas siapa jamaan langgar Dulmaseh dan siapa jamaan langgar Duljabar. Warga dusun-pun bebas berpindah-pindah langgar. Alasan pemilihan langgar tidak lebih dari alasan teknis, mana yang dekat atau yang lebih mudah dicapai. Meskipun demikian secara tidak sengaja terjadi segmentasi, yakni langgar Dulmaseh lebih disukai oleh kaum tua, sedangkan langgar Duljabar lebih menarik bagi kalangan anak muda, konon karena sholat tarawihnya lebih cepat selesai..
Dulu kedua langgar ini dijadikan tempat anak-anak dusun belajar mengaji mulai Juz Amma, Al Quran sampai beberapa kitab kuning tipis seperti Safinatun Najah, Ta’lim al-Muta’allim dan Jurumiyah. Guru ngaji adalah keluarga pendiri langgar dibantu beberapa santri senior yang dianggap mumpuni. Kegiatan langgar saat itu sudah mengarah ke semi pesantren dan di malam hari sebagian besar santri tidur di langgar.
Kehidupan santri langgar di malam hari selain mengaji juga bersosialisasi dan berinteraksi. Orang-orang dewasa berdiskusi atau ngobrol, anak-anak bermain gobak sodor, jompritan atau delikan. Ada juga kebiasaan “mayoran” yakni masak bersama, menanak nasi liwet dengan lauk opor ayam bumbu “asal nyemplung”. di sela-sela jeda. Ada juga juga sisi “abu-abu” seperti mencuri buah tetangga bahkan sisi “kelam” yang dilakukan sembunyi-sembunyi seperti praktek “mairil” yang merupakan adopsi dari tradisi “gemblak” dalam kehidupan warok. Namun berbeda dengan pesatren sebenarnya, dimana sepanjang hari santri tinggal di pondok, siang hari langgar ini sepi karena guru maupun santri beraktivitas di luar pondok seperti bekerja di sawah atau tempat lain dan anak-anak juga bersekolah baik di sekolah arab (madrasah) ataupun sekolah umum (SD Negeri).
Langgar semakin meriah ketika bulan puasa tiba. Ketika menjelang puasa atau menjelang riyoyo idul fitri atau disebut “megengan” ada tradisi pukul bedug atau “tidur” (tek-dung). Pukul bedug juga dilaksanakan setiap habis sholat tarawih atau ketika makan sahur. Di bulan puasa langgar menggilir warga dusun yang sholat di langgar untuk membuat ta’jil (makanan kecil) yang dimakan bersama di langgar usai menjalankan sholat tarawih. Setelah puasa melewati malam keduapuluh, ta’jil diganti dengan tradisi maleman yang jatuh setiap tanggal ganjil yakni selikur, telulikur, selawe, pitulikur dan songolikur (kalau puasa 30 hari). Konon dalam rangka mengharap turunnya Lailatul Qodar. Bila maleman tiba warga dusun yang sholat di langgar bergilir menyediakan tumpeng sebagai hidangan selamatan yang dilangsungkan sehabis sholat tarawih. Karena itu bisa dipastikan, setiap malem ganjil pengunjung langgar membludak sedangkan malem genep dimana slametan absen, warga yang sholat semakin maju… barisan shaf-nya.
Untuk maleman disiapkan "ambeng" (tumpeng) berupa nasi yang ditaruh di atas “encek” yang terbuat dari pelepah pisang dengan anyaman bambu beralaskan daun pisang. Nasi yang disajikan terkadang nasi putih biasa, nasi kuning atau gurih, atau “sego golong” yakni nasi yang dibentuk bulat seperti bola bowling atau buah melon. Di atas onggokan ambeng ditaruh samir, yaitu pembatas berupa potongan daun daun pisang berbentuk bulat yang juga berfungsi sebagai tempat lauk pauk. Lauk pauk tumpeng berupa ayam (panggang) atau daging dengan tambahan srundeng kelapa, sambel goreng kentang, bisa juga sambel goreng iwak ati, oseng-oseng buncis atau kacang panjang, kering tempe atau tergantung kreativitas dan selera pembuat ambeng. Umumnya warga sudah hapal ambeng favorit dan ambeng kepepet.
Selain nasi dan lauknya, kadang di ambeng ditambah “apem”. Kenapa harus apem, rupanya apem memang penganan khusus bulan Ramadhan dan khusus untuk selamatan dalam rangka "ngirim leluhur". Konon, kata “apem” memang berasal bahasa Arab “affuwun” yakni sesuai penggalan doa tarawih “Allahumma innaka affuwun kariim....” Ya Allah sesungguhnya Engkau adalah Yang Maha Pengampun.. Wallahu a’lam.
Selain untuk keperluan selamatan di langgar, untuk maleman warga dusun juga memasak makanan untuk dibagikan kepada tetangga, kerabat atau saudara. Acara membagikan makanan ini disebut sebagai “ater-ater”. Pengantar ater-ater ini adalah anak-anak, nah mereka sudah tahu… siapa penerima yang bakal memberikan tip gede dan siapa yang tidak, sehingga ketika mengantar pun anak-anak saling berebut client.
Tahun 1990-an listrik masuk dusun dan TV swasta mulai membikin stasiun transmisi di lereng Gunung Lawu, Cemorosewu, kabupaten Magetan sehingga siaran TV-TV itu di dusun ini dapat ditangkap dengan antene biasa, minat anak-anak dusun untuk mengaji sedikit demi sedikit menurun. Selain daripada itu remaja dan pemuda tanggung banyak yang mulai keluar kampung baik menjadi TKW di luar negeri atau mencari kerja di kota.
Akhirnya… sehari-hari langgar sepi dari kegiatan mengaji dan hanya diisi beberapa orang tua yang ingin sholat dan berdzikir lebih khusuk. Memang kini ketika Ramadhan tiba langgar masih meriah dengan tarwih, ta’jil, maleman, darusan dan sebagainya, namun tidak tahu sampai kapan hal itu akan bertahan. (kangucup)