jerukan

dedikasi terhadap dusun tempat daku dilahirkan

Friday, February 04, 2005

Jerukan: Geliat Sebuah Dusun TKW

Dusun Jerukan secara administratif termasuk wilayah kelurahan Doho kecamatan Dolopo, kabupaten Madiun, propinsi Jawa Timur. Untuk mencapai dusun ini dari kota Madiun adalah melalui jalan yang menuju ke Ponorogo. Pada kilometer 15 yakni sampai di kota kecamatan Dolopo yang ditandai dengan jalan dua lajur, maka pada batas akhir jalan dua lajur itu (yakni di kampung Sidorejo dekat kantor PLN Dolopo), belok ke kanan ke arah jalan desa. Satu kilometer ke arah barat menyusuri jalan itu sampailah ke dusun dimaksud.
Tidak jelas kenapa kampung ini disebut Jerukan, kalaupun kata itu merujuk kepada buah jeruk sepertinya agak mustahil, karena tidak ada bukti bahwa daerah ini baik dulunya apalagi sekarang merupakan daerah tanaman jeruk. Memang ada cerita yang mengatakan bahwa di daerah ini pernah banyak tanaman jeruk, tetapi sulit dibuktikan karena nggak jelas apa jenis jeruknya dan mengapa tanaman itu kini punah baik dari dusun ini maupun daerah sekitarnya. Versi lain mengatakan bahwa Jerukan berasal dari kata “jero” mengingat dusun ini lebih rendah dan untuk menuju dusun ini harus melalui jembatan yang menurun cukup tajam. Tetapi versi inipun diragukan kebenarannya, karena menjadi “jero” itu bukan dari dulu, melainkan akibat pembangunan irigasi.
Jerukan merupakan dusun agraris, lebih dari 50% wilayahnya merupakan pesawahan beririgasi teknis yang menggantungkan air dari telaga Ngebel Ponorogo melalui bendungan Gombal Mlilir yang merupakan DAS Bengawan Solo. Sebagian besar penduduk bermata pencarian petani, baik sebagai pemilik tanah ataupun sebagai buruh tani. Sebagaimana ciri dusun agraris umumnya, penduduk daerah ini adalah “warga asli” artinya sudah turun temurun tinggal di dusun ini. Kalaupun ada “pendatang” itu umumnya adalah karena orang luar yang kawin dengan warga setempat. Sehingga bisa dikatakan penduduk Jerukan adalah homogen dan umumnya merupakan “keluarga besar” baik karena pertalian darah ataupun akibat dari hubungan perkawinan.
Meskipun Jerukan merupakan dusun agraris, tetapi belakangan geliat dusun ini bukan dari sektor pertanian, melainkan dari devisa warga dusun yang merantau. Jerukan memang bisa disebut sebagai dusun TKW karena banyaknya warga dusun, terutama wanita yang mencari penghidupan di luar negeri.
Memang banyak cerita sedih TKW asal daerah sekitar Jerukan, seperti yang terbaru kisah penyiksaan yang dialami oleh Yeni di Arab Saudi, kisah sedih Sulastri di Singapura atau yang paling tragis adalah Sringatin di Arab Saudi, dan masih banyak lagi lainnya.
Namun di samping kisah sedih itu, kalaupun di dusun ini ada rumah yang beberapa bulan lalu reyot atau hampir roboh tetapi dengan cepat telah berganti wajah menjadi “gedong” dengan ciri punya jendela berkaca nako, lantai keramik dilengkapi perangkat elektronik dan perabotan baru itu bukan hasil karya “Tim Bedah Rumah”. Kalau ada orang yang selama ini dikenal tiap hari menggenjot sepeda butut, tiba-tiba berubah kelihatan nangkring di atas jok motor bebek yang gres bahkan di belakang kemudi gerobak Jepang itu bukan karena mendapat “Rejeki Nomplok”. Bisa dipastikan itu semua adalah buah jerih payah dari berburu “uang lebar” di Arab Saudi, Korea, Hongkong atau Taiwan.
Meskipun letak Jerukan agak terpencil, bukan berarti daerah ini terisolir. Kini berkat devisa yang diperoleh oleh TKW itu-lah jalan-jalan utama dusun sudah beraspal, apalagi sejak tahun 1990 kabel listrik sudah merambah masuk, menyusul kabel Telkom lima tahun kemudian dan kini sebuah BTS milik Satelindo Indosat bercokol tegak di dusun ini sehingga dapat melayani warga dusun yang mulai keranjingan ngobrol maupun kirim pesan pendek kepada kerabat menggunakan piranti canggih tanpa kabel yang bisa masuk ke kantong. Memang kini gaya hidup hedonisme dan metropolis-pun bisa dinikmati dengan mudah di ruang-ruang pribadi penduduk dusun melalui program TV swasta seperti Indosiar, RCTI, SCTV, TPI, TV7, Anteve, Metro TV, JTV di samping TVRI yang dari dulu dapat diakses tanpa parabola.
Akibat banyaknya TKW luar negeri yang sukses dari dusun ini, kini apresiasi warga terhadap materi dan kekayaan juga semakin meningkat. Selain daripada itu mulai terjadi pergeseran peran wanita yang semula hanya sekedar “kanca wingking” berubah menjadi “tulang punggung” ekonomi keluarga. Sebaliknya, peran suami mengalami degradasi, turun derajad dari kepala keluarga menjadi “pengurus anak” dan “kasir keluarga”. Perubahan itu bisa menyebabkan suami merasa tertekan, tiba-tiba harus dibawah bayang-bayang isteri sementara hasrat kelelakiannya terpaksa tertahan akibat isteri yang jauh. Kondisi ini bisa mendorong suami untuk melakukan tindakan tidak terpuji seperti menghamburkan uang hasil jerih payah isteri, selingkuh demi melampiaskan hasrat lelakinya atau terjadi perceraian.
Menarik untuk dicermati, bahwa keluarga dari kalangan status sosial lebih tinggi atau yang mapan cenderung memilih bertahan dengan status quo, sementara yang dari kalangan kurang beruntung memiliki kemauan yang lebih keras untuk mengubah nasib melalui jalan merantau ke luar negeri. Terbukti dari kalangan bawah ini kini banyak yang kemudian berhasil mengangkat derajatnya bangkit dari keterpurukan. Siapa sangka anak “buruh menumbuk padi” tanpa bekal pendidikan yang memadai-pun setelah beberapa tahun merantau ke tanah seberang, kini status sosialnya meningkat sejajar dengan orang yang dulu pantas menjadi majikannya.
Meskipun merasa bahwa mencari uang di tanah seberang lebih mudah, tetapi TKW itu masih merindukan dusun kelahirannya. Merantau ke negara asing adalah dalam rangka mengumpulkan modal sebagai bekal di hari tua di kampung halaman. Para TKW yang sudah merasa “tua” akan pulang kampung, lalu membangun usaha dari “modal” yang terkumpul misalnya mendirikan warung, toko, bertani atau usaha lainnya. Untuk keperluan itu, selama masih bekerja mereka rajin mengirim seluruh gaji yang diterimanya kepada orang yang dipercaya mengelola untuk ditabung dalam wujud perhiasan, binatang ternak, kendaraan atau aset misalnya tanah.
TKW juga mengenal suksesi, karena kalau seorang ibu yang menjadi TKW kemudian mempunyai anak perempuan yang beranjak remaja, maka ia mengharap sang anak akan menjadi penerusnya. Oleh karena itu para calo pengerah tenaga kerja akan tetap bergentayangan mencari mangsa di dusun ini laksana "pemandu bakat" yang terus mencari bibit-bibit baru calon TKW untuk disalurkan ke luar negeri.
Dulu tujuan favorit para TKW adalah Arab Saudi dengan alasan yang sangat idealis karena Arab Saudi adalah pusatnya agama islam sehingga berharap di sana akan bisa menjaga agamanya yakni sekaligus bisa menjalankan ibadah haji atau sekurang-kurangnya ibadah umrah. Tapi kini nampaknya tujuan pragmatis lebih dominan. Korea, Taiwan, Hongkong semakin diminati karena menghasilkan devisa lebih besar, meskipun dengan resiko kurang bisa mempertahankan tingkat keberagamaannya, seperti kegiatan ibadah atau menghindari dari makanan yang dilarang oleh agama Islam. “Saya tiap hari di Hongkong harus masak daging babi... bagaimana lagi wong itu tuntutan pekerjaan.... toh aku juga tidak pernah makan kok....”, demikian kata seorang mantan TKW tanpa ragu.

Wednesday, February 02, 2005

Dusun Agraris bernama Jerukan

Menggeliat dari devisa para TKW, tetapi hingga saat ini dusun Jerukan masih berbasis pertanian. Sebagian besar warga dusun adalah petani, bahkan perantau seperti TKW-pun masih bercita-cita untuk memiliki tegal atau sawah yang luas berikut rojokoyonya sebagai gantungan hidup di hari tua nanti.
Letak Jerukan berada persis dipinggir bulak sawah, sehingga merupakan tempat transit bagi petani yang mau bekerja di sawah. Di pinggir sawah terdapat warung ndeso dengan menu utama "sego pecel" yang menjadi jujugan bagi petani yang ingin sarapan sambil ngerumpi dan nyeruput secangkir kopi. Sawah di dekat dusun Jerukan itu ber-irigasi teknis walaupun dengan tingkat kesuburan bervariasi. Bulak yang luasnya "hanya" sekitar 200 hektar tersebut harus dibagi menjadi beberapa blok yaitu nJerukan sendiri, Cempo, Nggadang, mBanyutowo, Ngendut, nJeblog dan Tawang. Bisa dibayangkan bulak sesempit itu harus menghidupi ratusan KK dari beberapa dusun tunggal deso, tangga deso satu kecamatan sampai lain deso dan lain kecamatan. Kesuburan sawah itu pun bukan yang terbaik, karena terdiri dari tanah sedimen yang mudah merembeskan air maupun unsur hara yang diperlukan tanaman, solum-nya pun tidah terlalu dalam.
Jelas bulak sawah Jerukan tidak bisa dijadikan satu-satunya gantungan kehidupan warga sekitarnya. Hasil sawah sebagian besar hanya cukup untuk konsumsi sehari-hari, sedangkan untuk kemewahan harus mencari sumber lain. Maka di dusun ini kalau-pun ada orang kaya atau juragan (tingkat lokal) pastilah beliau sebagai petani yang “selingkuh” artinya punya “sampingan” atau "nyambi" misalnya jadi pedagang entah itu hasil bumi, rojokoyo atau harta benda lain yang bisa diperjual-belikan.
Hasil pertanian tradisional dusun Jerukan adalah padi. Dengan tanam “gadu” petani paling tidak bisa panen 2 kali setahun. Selain padi, petani bisa menanam polowijo seperti kedele, singkong, sayuran atau tanaman lain yang cocok ditanam di musim kemarau. Sesekali sawah juga bisa ditanami tebu baik berupa tebu rakyat atau Tebu Rakyat Intensifikasi yang merupakan pengganti sistem geblagan “tebu pabrik”. Bila panen tebu rakyat dijual ke pabrik lewat tengkulak atau digiling sendiri menjadi gula lèmpèr.
Akibat hujan “turunnya suka-suka” alias sering “salah mongso” supply air dari telaga Ngebel jadi tak menentu. Sehingga di musim kemarau aliran irigasi tidak lagi lancar, air menjadi komoditi langka yang tidak jarang menjadi sumber percekcokan bahkan pertumpahan darah antar petani. Tapi.. justru langkanya air itu bagi sementara orang malah menjadi peluang bisnis baru yakni usaha penyewaan pompa air tenaga diesel untuk menaikkan air dari kali atau sumur dangkal. Sebenarnya eksploitasi air tanah tanpa perencanaan seperti itu potensial merusak keseimbangan tata air secara keseluruhan, tetapi itu upaya maksimal yang bisa dilakukan petani...
Bertani tidak mesti di sawah, karena lahan pekarangan sekitar rumah warga-pun juga bisa dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Namun karena air yang tersedia hanya di musim hujan, budidaya pekarangan ini tidak pernah diusahakan secara intensif. Yang dibudidayakan–pun hanya tanaman-tanaman yang minim pemeliharaan misalnya tanaman tahunan seperti kelapa, pisang dan buah-buahan lainnya. Ada juga tanaman "semusim" yang nerguna sebagai ganjel perut dikala “paceklik” seperti uwi, suweg, ganyong dan garut. Namun ada contoh sukses petani Jerukan yang mampu pergi ke Mekah hanya dari hasil pekarangan yakni, kencur, sehingga namanya-pun disebut sebagai “Haji Kencur”..... tapi itu hanya cerita masa lalu.
Ada saluran irigasi sekunder (saluran II) yang mengalir di dusun ini, namun airnya harus harus mengaliri juga bulak-bulak lainnya. Memanfaatkan aliran air saluran itu, ada "segaran" (kolam besar) ikan milik pemerintah dan penduduk yang berada di sekitarnya. Ikan yang diternakkan adalah gurami, emas, tawes, mujair dan lele. Dulu setiap awal musim kemarau saluran sekunder selalu ditaburi bibit ikan karena selalu penuh air sepanjang kemarau. Ketika musim hujan tiba, saluran itu dikeringkan dengan menutup alirannya di bendungan Gombal Mlilir, nah ... pada saat itu ikan-ikan tawes dan emas seukuran telapak tangan akan menggelepar ke sana ke mari di sungai bersamaan dengan surutnya air. Penduduk di sepanjang aliran saluran irigasi berbondong-bondong dengan serok, cikrak, pecak bahkan jala. Dan itu merupakan saat "pesta" bagi warga dusun Jerukan...

Langgar dan kehidupan santri warga dusun Jerukan.

Jerukan adalah dusun santri, karena sentra aktivitas warga adalah langgar (musholla), sebab keluarga inti dusun ini adalah keluarga santri. Di ujung dusun ini Kyai Dulmaseh telah mendirikan sebuah langgar (musholla) yang masih tegak berdiri hingga kini. Langgar itu cukup besar karena mampu menampung seratusan jemaah. Kira-kira telah seabad langgar itu berdiri dan beberapa kali diperbaiki tetapi bentuk aslinya belum banyak berubah. Perubahan hanya pada pernik-pernik termasuk lantai yang semula plester kini telah diganti dengan keramik. Arsitektur langgar tergolong sederhana yakni berupa bangunan cungkup beratap genting, tanpa kubah atau “mustaka”, dengan usuk dari bambu tanpa plafond dengan pengimaman di sisi barat yang beratapkan beton cor berbentuk kubah lengkung. Di sebelah kanan dan kiri terdapat gandok, gandok sebelah kanan digunakan sebagai “palastren” atau tempat santri putri. Di belakang masjid terdapat pemakaman khusus keluarga cikal bakal langgar. Melengkapi langgar adalah sarana padasan (tempat untuk membersihkan hadas) berupa sumur dan blandong (pancuran) untuk berwudhu serta sebuah blumbang (kolam) yang bisa digunakan baik untuk berwudhu, mandi junub atau keperluan lain seperti mencuci pakaian. Jarak blumbang dengan langgar cukup jauh, sekitar 25 meter, sebagai sarana penghubung adalah titian dari deretan batu besar yang disebut “bancik”. Alat pemanggil jamaah berupa kentongan kayu jati dengan diameter 25 cm yang berdekatan dengan sebuah bedug berdiameter satu meter yang ditutup kulit lembu. Saat ini, melengkapi kentongan dan bedug itu juga terpasang piranti modern seperti horn “Toa” yang rajin mengumandangkan adzan lima kali sehari semalam. Alat modern lainnya yang ada di langgar adalah beberapa kipas angin yang memperlancar sirkulasi udara dalam langgar yang bermanfaat ketika ketika jamaah memenuhi ruangan masjid..
Semula langgar itu adalah untuk keluarga besar, tetapi dengan berubahnya waktu, statusnya bergeser menjadi musholla warga dusun secara umum. Namun hingga saat ini takmir maupun pengelola langgar masih didominasi keluarga besar Kyai cikal bakal.
Langgar selain dipergunakan sebagai tempat untuk melaksanakan sholat lima waktu juga untuk menunaikan sholat tarawih di bulan Ramadhan maupun sholat dua hari raya (iedul adha dan iedul fitri). Namun sampai saat ini belum pernah dipergunakan sebagai tempat untuk menjalankan sholat Jumat. Untuk keperluan Jumatan warga dusun pergi ke masjid desa Doho yang berjarak beberapa ratus meter dari langgar. Kata para ulama, langgar tidak memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai tempat menjalankan sholat Jumat, karena terlalu dekat dengan masjid desa karena azan dari masjid tersebut masih terdengar jelas di lingkungan langgar.
Di bagian lain dari dusun Jerukan juga terdapat sebuah langgar yang sedikit lebih besar. Langgar kedua ini didirikan oleh Kyai Abdul Jabar (Duljabar). Bentuk langgar Duljabar hampir sama dengan langgar kyai Dulmaseh, yakni sama-sama memiliki blumbang, namun langgar Duljabar dilengkapi dengan pondok yang menunjukkan bahwa tempat itu dulunya adalah sebuah pesantren dengan santri yang menginap. Pewaris Duljabar yang mengelola langgar ini juga pernah mencoba untuk meningkatkan status langgar menjadi sebuah masjid yakni tempat sholat umum termasuk sholat Jumat.
Kedua langgar tersebut tidak berbeda aliran, sama-sama ahlu sunnah waljamaah, yakni sama-sama tarwih 20 rakaat, sama-sama sholat subuh dengan doa qunut, hanya saja langgar Kyai Abdul Jabar (meskipun ada kentongan) tidak memiliki bedug.
Langgar Dulmaseh dan Duljabar biasa berbagi jemaah, namun tidak ada batas yang jelas siapa jamaan langgar Dulmaseh dan siapa jamaan langgar Duljabar. Warga dusun-pun bebas berpindah-pindah langgar. Alasan pemilihan langgar tidak lebih dari alasan teknis, mana yang dekat atau yang lebih mudah dicapai. Meskipun demikian secara tidak sengaja terjadi segmentasi, yakni langgar Dulmaseh lebih disukai oleh kaum tua, sedangkan langgar Duljabar lebih menarik bagi kalangan anak muda, konon karena sholat tarawihnya lebih cepat selesai..
Dulu kedua langgar ini dijadikan tempat anak-anak dusun belajar mengaji mulai Juz Amma, Al Quran sampai beberapa kitab kuning tipis seperti Safinatun Najah, Ta’lim al-Muta’allim dan Jurumiyah. Guru ngaji adalah keluarga pendiri langgar dibantu beberapa santri senior yang dianggap mumpuni. Kegiatan langgar saat itu sudah mengarah ke semi pesantren dan di malam hari sebagian besar santri tidur di langgar.
Kehidupan santri langgar di malam hari selain mengaji juga bersosialisasi dan berinteraksi. Orang-orang dewasa berdiskusi atau ngobrol, anak-anak bermain gobak sodor, jompritan atau delikan. Ada juga kebiasaan “mayoran” yakni masak bersama, menanak nasi liwet dengan lauk opor ayam bumbu “asal nyemplung”. di sela-sela jeda. Ada juga juga sisi “abu-abu” seperti mencuri buah tetangga bahkan sisi “kelam” yang dilakukan sembunyi-sembunyi seperti praktek “mairil” yang merupakan adopsi dari tradisi “gemblak” dalam kehidupan warok. Namun berbeda dengan pesatren sebenarnya, dimana sepanjang hari santri tinggal di pondok, siang hari langgar ini sepi karena guru maupun santri beraktivitas di luar pondok seperti bekerja di sawah atau tempat lain dan anak-anak juga bersekolah baik di sekolah arab (madrasah) ataupun sekolah umum (SD Negeri).
Langgar semakin meriah ketika bulan puasa tiba. Ketika menjelang puasa atau menjelang riyoyo idul fitri atau disebut “megengan” ada tradisi pukul bedug atau “tidur” (tek-dung). Pukul bedug juga dilaksanakan setiap habis sholat tarawih atau ketika makan sahur. Di bulan puasa langgar menggilir warga dusun yang sholat di langgar untuk membuat ta’jil (makanan kecil) yang dimakan bersama di langgar usai menjalankan sholat tarawih. Setelah puasa melewati malam keduapuluh, ta’jil diganti dengan tradisi maleman yang jatuh setiap tanggal ganjil yakni selikur, telulikur, selawe, pitulikur dan songolikur (kalau puasa 30 hari). Konon dalam rangka mengharap turunnya Lailatul Qodar. Bila maleman tiba warga dusun yang sholat di langgar bergilir menyediakan tumpeng sebagai hidangan selamatan yang dilangsungkan sehabis sholat tarawih. Karena itu bisa dipastikan, setiap malem ganjil pengunjung langgar membludak sedangkan malem genep dimana slametan absen, warga yang sholat semakin maju… barisan shaf-nya.
Untuk maleman disiapkan "ambeng" (tumpeng) berupa nasi yang ditaruh di atas “encek” yang terbuat dari pelepah pisang dengan anyaman bambu beralaskan daun pisang. Nasi yang disajikan terkadang nasi putih biasa, nasi kuning atau gurih, atau “sego golong” yakni nasi yang dibentuk bulat seperti bola bowling atau buah melon. Di atas onggokan ambeng ditaruh samir, yaitu pembatas berupa potongan daun daun pisang berbentuk bulat yang juga berfungsi sebagai tempat lauk pauk. Lauk pauk tumpeng berupa ayam (panggang) atau daging dengan tambahan srundeng kelapa, sambel goreng kentang, bisa juga sambel goreng iwak ati, oseng-oseng buncis atau kacang panjang, kering tempe atau tergantung kreativitas dan selera pembuat ambeng. Umumnya warga sudah hapal ambeng favorit dan ambeng kepepet.
Selain nasi dan lauknya, kadang di ambeng ditambah “apem”. Kenapa harus apem, rupanya apem memang penganan khusus bulan Ramadhan dan khusus untuk selamatan dalam rangka "ngirim leluhur". Konon, kata “apem” memang berasal bahasa Arab “affuwun” yakni sesuai penggalan doa tarawih “Allahumma innaka affuwun kariim....” Ya Allah sesungguhnya Engkau adalah Yang Maha Pengampun.. Wallahu a’lam.
Selain untuk keperluan selamatan di langgar, untuk maleman warga dusun juga memasak makanan untuk dibagikan kepada tetangga, kerabat atau saudara. Acara membagikan makanan ini disebut sebagai “ater-ater”. Pengantar ater-ater ini adalah anak-anak, nah mereka sudah tahu… siapa penerima yang bakal memberikan tip gede dan siapa yang tidak, sehingga ketika mengantar pun anak-anak saling berebut client.
Tahun 1990-an listrik masuk dusun dan TV swasta mulai membikin stasiun transmisi di lereng Gunung Lawu, Cemorosewu, kabupaten Magetan sehingga siaran TV-TV itu di dusun ini dapat ditangkap dengan antene biasa, minat anak-anak dusun untuk mengaji sedikit demi sedikit menurun. Selain daripada itu remaja dan pemuda tanggung banyak yang mulai keluar kampung baik menjadi TKW di luar negeri atau mencari kerja di kota.
Akhirnya… sehari-hari langgar sepi dari kegiatan mengaji dan hanya diisi beberapa orang tua yang ingin sholat dan berdzikir lebih khusuk. Memang kini ketika Ramadhan tiba langgar masih meriah dengan tarwih, ta’jil, maleman, darusan dan sebagainya, namun tidak tahu sampai kapan hal itu akan bertahan. (kangucup)